Selasa, 19 April 2011

Ekspresi dan Apresiasi

Berbicara mengenai perfilman di Indonesia tak luput dari ekspresi para sutradara dan apresiasi penonton yang ada. Ekspresi para sutradara yang handal akan menjadikan film itu memiliki nilai yang luar biasa di mata para penontonnya, juga menjadikan  peluang mencari uang bagi sutradaranya itu sendiri. Indonesia memiliki banyak sutradara yang menghasilkan film yang nilai jualnya tinggi. Diantaranya, Riri Reza dengan Petualangan Sherina, GIE, dan Laskar Pelangi ; Joko Anwar dengan Janji Joni, Kala dan Pintu Terlarang ; Nia Dinata dengan  Arisan!, Berbagi Suami ; Garin Nugroho dengan Pasir Berbisik, Under The Tree, Opera Jawa ; Hanung Bramantyo dengan Get Married, Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Catatan Akhir Sekolah, dan Get Married II ; Rudi Soejarwo dengan Ada Apa dengan Cinta ; Ifa Isfansyah dengan Garuda Di Dadaku.

Selain itu apresiasi dari para penoton perfilman juga sangat penting akan eksistensi film itu sendiri. Pasang-surut dari perfilman di Indonesia sering kali terjadi karena adanya beberapa faktor. Beberapa di antaranya adalah: 1. penurunan mutu produk film Indonesia; 2. distribusi film Indonesia yang tergantung kepada 1 distributor saja; 3. masih kurangnya jumlah layar bioskop untuk tayang film Indonesia; 4. pendeknya masa tayang film Indonesia di bioskop; 5. tema film Indonesia yang nyaris seragam; 6. film Indonesia terlanjur mendapat stigma buruk dari sebagian penonton film di Indonesia; 7. bajakan film yang melimpah, dan masih banyak lagi.

Namun dari jumlah yang banyak ternyata masih sedikit sekali yang merupakan penonton film Indonesia yang baik. Indikasi yang paling mudah adalah dari sedikitnya penonton yang menonton film Indonesia di bioskop-bioskop. Sedikitnya penonton yang datang di gedung bioskop juga disebabkan karena pendeknya masa tayang film Indonesia di bioskop-bioskop yang memiliki 2 sisi yang berlawanan; di satu sisi film Indonesia harus segera turun layar, istilah lain dari ‘dicabut dari peredaran', karena dianggap sepi penonton dan terdesak film Indonesia lainnya yang antri untuk rilis di minggu berikutnya, di sisi lain film Indonesia mungkin belum sempat didatangi penontonnya karena terlalu pendek masa tayangnya di bioskop. Penonton film Indonesia masih perlu disodori banyak-banyak informasi mengenai film-film Indonesia yang akan/sedang tayang di bioskop. Andai film Indonesia punya masa naik layar lebih lama, mungkin jumlah penonton yang hadir di bioskop bisa lebih banyak lagi.
Kemungkinan besar setelah ‘lengser'nya film Indonesia dari posisi ‘tuan rumah di negerinya sendiri', buruknya film dan perfilman Indonesia masih menjadi stigma yang melekat di kepala sebagian besar penikmat film di Indonesia. Masih sering terdengar cemoohan apatis, "apa sih bagusnya film Indonesia?!" Apabila kita coba mengambil contoh dari 82 judul film Indonesia yang rilis nasional sepanjang tahun 2010, yang ternyata layak dikategorikan sebagai film yang baik tidak sampai 20 judul, bisa menjadi ‘permakluman' atas cemoohan tadi.
Penonton yang katanya lebih terdidik tentang film, khususnya film-film produksi Amerika dan Eropa, ternyata sedikit sekali yang mau ‘menurunkan level pendidikan filmnya' apabila bersinggungan dengan film-film Indonesia. Mereka masih terlalu tinggi dalam mengekspektasi sebuah karya film Indonesia. Mungkin sebagian dari mereka lupa bahwa film adalah juga bagian dari kebudayaan sebuah bangsa yang pastinya unik dan berbeda dengan kebudayaan bangsa-bangsa lainnya.
Ada juga gejala aneh dari sebagian penonton film: dengan informasi yang ada malah jelas-jelas memilih film Indonesia yang dikategorikan ‘kelas B' (atau bahkan mungkin C atau D) sebagai hiburan. Mungkin di satu sisi film semacam itu bisa dianggap sebagai hiburan, tapi dari sisi produksi film Indonesia yang serius dan sungguh-sungguh, gejala ini bisa menjadi kontra produktif bagi perfilman Indonesia karena produser film-film kategori kelas B ke bawah akan tetap giat berproduksi dengan claim bahwa filmnya tetap ditonton di bioskop. Lebih baik serahkan saja ‘apresiasi' film-film semacam itu kepada media-media berita hiburan, karena dengan hadirnya kita menonton film semacam itu di bioskop sama saja dengan mendukung produksi filmnya.
Menurut saya, persoalan film di Indonesia ini masih perlu dikaji lebih dalam lagi. Bagi para sutradara seharusnya memasukan banyak pembelajaran dan nilai moral bagi penonton dari film yang akan dibuatnya itu. Karena film juga termasuk media pembelajaran dan penanaman nilai moral bagi masyarakat Indonesia sekarang ini. Bagi para penikmat perfilman agar dapat memilih dengan benar mana film yang dapat membawa kemajuan bagi bangsa dan mana film yang dapat membawa keterpurukan bagi bangsa kita. Dan tetap tidak meninggalkan ciri khas budaya kita !!!

DESCA PARIDANA
KETUA OSIS SMA NEGERI 42 JAKARTA